Senin, 28 Juli 2008

Mengenal Diri yang Secitra dengan Allah


Kisah Tuhan, Kisah Hidupku


Salah satu tempat di muka bumi yang mampu menarik banyak orang berduyun-duyun measukinya adalah mall. Tidak mengherankan bila mall disebut sebagai "katedral orang modern". Sebagai pusat perbelanjaan orang hampir-hampir dapat menemukan apa saja yang dibutuhkannya, mulai dari peralatan rumah tangga sampai kosmetika, dari beragam bahan makanan sampai piranti kosmetika, dari beragam bahan makanan sampai piranti komunikasi yang paling canggih. Mall sungguh terbuka dan tersedia bagi semua kalangan mulai anak-anak sampai orang dewasa. Tempatnyapun nyaman untuk berbelanja, makan, bermain, berolahraga maupun untuk sekedar jalan-jalan dan cuci mata. Tidak jarang dalam mall diselenggarakan pagelaran musik, pertunjukkan mode, pameran seni dan perayaan-perayaan hari besar seperti Natal dan Idul Fitri. Bahkan di Filipina, misapun diadakan di tengah-tengah mall ketika banyak orang sedang berlalu lalang dan berbelanja.

Kini, semakin banyak orang yang merasa tidak perlu lagi menelusur pasar-pasar tradisional yang seringkali kotor dan bau karena onnggokan sampah. Di dalam mall, segalanya serba ada. Cukup masuk ke satu mall dan orang akan mendapatkan apa yang dicarinya. Orang pun bebas memilih dan mengambil sendiri barang yang disukai dan dibutuhkannya. Dalam mall, pembeli nampaknya benar-benar menajdi raja.

Benarkah orang menemukan apa yang sungguh-sungguh dibutuhkan di mall? Di mall, terpajang fasilitas hidup manusia yang semakin beragam jenis merk dan variasinya. Kalau orang kurang puas dengan HP bermerk A karena fiturnya kurang lengkap, masih ada HP merk B atau C yang lebih canggih dengan harga bersaing. Mall menunjukkan kisah konsumen jaman sekarang. Ternyata dalam banyak hal, orang membeli barang yang sebenarnya tidak sungguh dibutuhkannya. Inilah kekayaan jaman ini: orang cenderung menginginkan hal-hal yang serba berlebihan walaupun tidak amat membutuhkannya.

Di sepanjang lorong mall apakah orang-orang sungguh menjadi raja yang punya kebebasan memilih hal-hal yang dipandnag berharga dalam hidupnya? Orang memang bebas memilih dan mengambil barang-barang sesuka hatinya dan sesuka keperluannya. Namun dalam kenyataan pilihan sudah dibatasi oleh trend barang yang sedang menajdi primadona pasar yang sedemikian cepat berganti rupa dan kemasan. Kebebasan orang untuk memilih menjadi cerita belaka karena pilihan tersebut telah diciptakan dan diarahkan dan didikte oleh perancang trend. Apa yang dipandang berharga dan bermartabat bagi hidupnya adalah apa yang sedang digembor-gemborkan dan dicitrakan oleh iklan. Orang bermartabat kalau menjadi up to date, dengan model pakaian trendy, dandanan rambut atau seri ponsel terbaru. Orang menjadi percaya diri kalau dapat menyantap makanan bergaya Eropa atau Amerika. Kehoramtan dipertaruhkan dari apa yang tampak dari penampilan dan kepemilikan. Orang takut dipandang kolot, nggak gaul dan berselera tua. Beserta harga diri orang dipacu untuk mengejar citra pandai, hebat, intelijen, smart dan berselerra laksana eksekutif muda. Tentu saja untuk tampil smart dan elegan telah tersedia barang-barang yang dijamin bermerk terkenal.

Mall bukan hanya sebagai bangunan super dan hypermarket megah namun menjelma menjadi budaya "mall" yang mampu mengubah cara orang merasa, memilih, bersikap. Secara gamblang budaya tersebut ditawarkan oleh TV, internet dna media massa lainnya. Secara tidak sadar orang ditarik keluar dari lubuk keyakinannya dan jati dirinya yang terdalam. Perlahan-lahan orang dipacu untuk mengejar citra kekayaan, kehormatan dan keunggulan yang lekat dengan status atau seberapa besar barang yang dimilikinya. Orang menjadi asing dengan dirinya sendiri. Nmaun, orang tidak mau disebut sebagai pecundang dalam hidup ini. KArena itu, tidak mengherankan bahwa orang tergesa untuk mengumpulkan harta sebnayak dan secepat mungkin. Jika perlu, orang melakukan korupsi, menghindari audit kekayaan atau berusaha menjatuhkan saingan bisnisnya. Demi obsesi kehormatan dan gengsi orang tergiur untuk membeli gelar akademis, menyogok demi jabatan tertentu dan tidak mau mundur dari jabatan saat terkena kasus hukum. Agar tetap dipandang elegan, unggul dan punya wibawa intelektual, orang berjuang untuk menguasai opini publik, memiliki klub-klub eksklusif dan menggunakan gaya bahasa elitis. Akibatnya orang cenderung untuk tertutup, susah bekerjasama, otoriter dan mengedepankan cara-cara kekerasan dalam perkataan maupun perbuatan.


Bagaimana kita mau menempatkan diri di tengah "budaya mall"? Apakah mau turut berlomba mengejar citra-citra semu yang digelar mall/internet, TV, majalah, koran atau majalah? Beranikah kita mengambil langkah alternatif untuk hidup seturut jati diri dan martabat kita yang sesungguhnya?